Apa itu Ma'rifat

Apa itu Ma'rifat


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Alhamdulilllah ana bisa aktif lagi blogger setelah off di waktu menjelang UN SMP/MTs 2016 dan waktu pendaftaran lagi di SMA Negeri 1 Kebumen.
Horee :')

Berhubung ikut Sains Club Komputer dan ROHIS SMA Negeri 1 Kebumen, jadi inget tentang blog ini. Ya, terimakasih sudah mengklik tautan ini. Syukron :)

OK, ok seperti judul diatas, kita akan bahas mengenai Ma'rifat. Apa itu ???
Mari simak



A. PENGERTIAN

1. Menurut Istilah

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan:
Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:
Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi...

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan:
Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya).

2. Menurut Bahasa

Marifat menurut bahasa adalah mengetahui Allah SWT
Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT , yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah

3. Pengertian secara umum

Marifat secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.
Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu . setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim.
Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA

Marifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio).
Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.



B. Pandangan Al-Gazali Tentang Ma'rifat


1. Pengertian

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy.
Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.
Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك

“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.

Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah:

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.

“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk.
Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu--para ’arifin--. Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi.
Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite).
Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf. Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy. Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahm­d, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­ al-A’la al-Maud­diy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT.

Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya.

Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.

Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.

Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)

Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.


2. Sumber Ma'rifat

Sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :

a. Pancaindera
Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal
Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.

c. Wahyu
Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.

d. Kasyf
Kasyf adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.


3. Tingkatan Ma'rifat
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :

a. Tingkatan pertama; imannya orang awam.
Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam.
Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin.



C. Pandangan Ahli Sufi lain Mengenai Marifat

Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis:
“Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”

Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri. Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah.

Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.
Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’.
Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauh dari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa.
Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya.
Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu.

Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidak ada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt.
Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubari seorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artinya bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya, dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah Zunnun al-Misri (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim
Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuh jalan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu:

Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.


Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan. Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”.

Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at. Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”


Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya.
Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Mahahidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya].

Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “

Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” Jawabnya adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.
Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab
Pastilah seluruh makhluk sempurna
Namun hijab itu amat halus
Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.
Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.”

Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan di dalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair:
Matahari siang tenggelam di waktu senja
matahari kalbu tiada pernah tenggelam
Siapa yang mencintai Sang Kekasih
`Kan terbang sayap rindunya
menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya:
Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan Cahaya Ilahi dengan rahasia di atas rahasia Yang terdapat dalam berbagai hijab
Tuli dari makhluk, buta dari pandangan mereka
Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta.

Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”
Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.

Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah
Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali.

Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).

Sedangkan al-yaqin -ketahuilah – keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, `Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”

Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat.

Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.”

Ahmad bin ‘Atha’ – rahimahullah – berkata, “Ma’rifat itu ada dua: Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman:
“Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.” (Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskan:
Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu?

Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. 
Allah swt. berfirman:
“Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).
Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli – rahimahullah – pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat kesaksian al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.”
“Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?”
Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.”
Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami – rahimahullah – pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – menjelaskannya: Artinya, – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid – rahimahullah – pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”

Al-Junaid – rahimahullah – ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?”
Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”
Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi – rahimahullah – berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?”
Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz – rahimahullah – ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.”
Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan mereka.”

Abu al-Husain an-Nuri – rahimahullah – ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat Yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat Yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahui mana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal. Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”

Syekh Abu Nashr as Sarrai mengatakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ – rahimahullah – pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan). Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).”

Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadis:
Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab: Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.” (H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar).

Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk)
Wallahu 'alam.

Dengan adanya ilmu marifat ini semoga dapat menambah iman islam dan taqwa kita untuk menjauhi segala macam perkataan dan perilaku yang mudharat. 
Barakallah

Wassalamu'alaikum warahmatullaah wabarakatuh

Sumber : Kajian ROHIS SMA N 1 Kebumen
Video : Oxygen Memories 2015/2016

Video : Oxygen Memories 2015/2016



Assalamu'alaikum wr. wb

Ok, syukron telah berkunjung.

Nice, kali ini ana akan memposting video. Yatta, seperti judul artikel diatas :')

Alhamdulillah ana telah selesai membuat sebuah video khusus untuk Kelas IX I SMPN 1 Prembun

Tapi, maaf animasi video ini masih saja terasa lag (mungkin karena spesifikasi PC yang kurang mumpuni ataupun karena Corel X8 Studio ini masih trial)
Sekali lagi, ana minta maaf

Ini nih...



Putar videonya dengan fullscreen ya :')

Semoga saja dengan video ini, bisa jadi kenang-kenangan kita dulu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan

Ini bukanlah akhir dari semuanya.
Semangat untuk menempuh hari baru disana...

Oxygen We Proud

Wassalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Menantikan Duel Chrome Book vs Windows

Menantikan Duel Chrome Book vs Windows


Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

Pastinya kalian tahu kan tiga raksasa teknologi (Yups : Google, Apple, Microsoft).  Tentunya, ketiga vendor ini saling beradu dalam hal inovasi, marketing, dll. Sehingga tak dapat dielakkan lagi terjadilah perang teknologi 2



Okay, ok….
Tapi, kali ini kita hanya bahas dua saja dari 3 vendor tersebut.
Okay, Let’s start right now

Masih ingat ?
Di event Google I/O 2016 beberapa waktu lalu secara resmi Google mengumumkan bahwa tahun ini mereka akan membawa Google Play ke Chromebook.

Ini artinya pengguna Chromebook bakal bisa menjalankan aplikasi Android di device mereka.

Wow, it’s great…. ^^
Tapi, kali ini saya berpihak pada Microsoft. Kenapa ? Sampai sekarang ini, ana masih menggunakan OS Windows di PC. How about you ?



Ok, focus
Eits, sebelumnya,... Bagi yang belum tahu Chrome OS berikut screenshotnya





Nah, Inilah yang perlu dikaji…., kenapa Microsoft perlu waspada dengan hal ini..? Berikut ini beberapa alasannya:




1. Android Apps vs UWP


Di Windows 10 Microsoft mulai menggencarkan UWP (Universal Windows Platform), yaitu aplikasi yang bisa dijalankan di berbagai device berbasis Windows 10.

Konsep ini membuat aplikasi UWP bisa dijalankan di device seperti smartphone, tablet, ataupun PC.
Keren ^^

Tetapi dihadirkannya Android Apps ke Chromebook seolah memposisikan Android Apps berhadapan face to face langsung dengan UWP, karena dengan begitu Android Apps bisa berjalan di berbagai form factor populer saat ini yaitu smartphone, tablet, dan laptop, meskipun untuk laptop masih terbatas pada Chromebook saja.

Jumlah dan popularitas Android Apps bisa saja memperlambat jumlah dan popularitas dari UWP.



2. Google Play vs Windows Store

Di Windows 10 Microsoft jelas terlihat mengutamakan aplikasi Windows Store daripada aplikasi desktop yang dikuasainya saat ini.

Microsoft ingin Windows Store menjadi portal aplikasi utama pengguna Windows. Jangan heran jika akhirnya upgrade Windows 10 juga digratiskan bagi pengguna Windows 7 dan Windows 8.1. Salah satu tujuannya adalah untuk membawa sebanyak mungkin pengguna Windows ke ekosistem Windows Store di Windows 10.

Hal ini juga bisa terbukti dengan dikonversinya semua tool bawaan Windows 10 menjadi UWP / Windows Store Apps. Bahkan mereka juga merilis Desktop App Converter untuk mengajak developer melakukan hal yang sama.

Namun demikian hadirnya Google Play ke Chromebook bisa mengalihkan banyak mata dari Windows Store, baik itu pengguna yang tertarik dengan banyaknya aplikasi didalamnya, atau developer yang tertarik dengan potensi pendapatan disana.

Ya, secara tidak langsung kehadiran Google Play di Chromebook bisa menghambat perkembangan Windows Store.



3. Banyak Pengguna Android


Android saat ini menguasai market OS di smartphone maupun tablet. Jumlah penggunanya sangat banyak.

Tidak heran jika banyak orang terbiasa menggunakan Android berikut berbagai aplikasi favorit mereka di platform tersebut.

Dan ketika aplikasi itu hadir di Chromebook, ketertarikan mereka akan device tersebut bakal meningkat karena aplikasi yang biasa mereka gunakan di smartphone atau tablet Android bisa ditemui dan digunakan disana.

Jika didukung dengan ketersediaan Chromebook dan harga yang terjangkau, maka bakal cukup mempengaruhi keputusan pengguna ketika akan membeli device baru.



4. Manufaktur Berlomba-lomba

Di dunia tablet apalagi smartphone, berbagai brand dan manufaktur berlomba-lomba merilis device Android mereka.

Selain gencar merilis device mereka juga gencar memasarkannya, baik melalui booth di mall, berbagai promo, bahkan juga iklan di TV ataupun media lainnya.

Jika kemudian aplikasi Android bisa dijalankan di Chromebook, dan permintaan Chromebook di market meningkat, maka manufaktur bakal berlomba-lomba merilis dan memasarkan Chromebook ke berbagai jangkauan pasar mereka. Sama seperti yang mereka lakukan saat ini dengan smartphone Android nya.

Jika ini terjadi maka Chromebook bakal ada dimana-mana dan iklannya akan bertebaran di berbagai media.



5. Apps Unggulan Windows Ada di Google Play


Di era kepemimpinan Satya Nadella, Microsoft memutuskan jadi cross platform friendly, merilis berbagai aplikasi unggulan Windows ke berbagai platform, termasuk juga Android.

Katakanlah seluruh paket Microsoft Office, Cortana, OneDrive, dan masih banyak yang lainnya juga.
Dulu aplikasi tersebut merupakan keunggulan dari Windows device, sampai Google cukup frustasi hingga membeli Quickoffice untuk dijadikan aplikasi pengolah dokumen utama di Android.

Tetapi kini Microsoft Office dan sederet aplikasi produktif lain ada disana, membuat app gap di kategori produktivitas Android semakin tipis.

Dengan dihadirkannya aplikasi Android ke Chromebook, maka Chromebook pun bisa menjadi produktif dengan Microsoft Office dan berbagai aplikasi lainnya.



6. Chromebook Relatif Murah

Saat ini Chromebook harganya masih relatif murah, berkisar antara 2 hingga 4 jutaan. Dan sama seperti banyak smartphone Android, device murah cukup menjadi incaran banyak penggemar teknologi di kelas mid-end kebawah.



7. Mayoritas Orang Hanya Pengguna Umum

Meskipun aplikasi Android dihadirkan di Chromebook, sebenarnya untuk saat ini Chromebook masih bukan device yang ideal bagi power user.

Selain spesifikasinya yang mayoritas sederhana, berbagai keterbatasan seperti tidak adanya internal storage yang besar, aplikasi power user seperti Adobe Premiere dan semacamnya, serta game-game serius didalamnya, membuat Chromebook hanya bisa untuk penggunaan ringan sehari-hari.

Nah permasalahannya adalah sebagian besar orang hanyalah pengguna umum biasa. Para ibu-ibu dan remaja yang keseharian hanya membutuhkan device untuk Facebookan ataupun browsing-browsing cari hiburan, dan semacamnya.

Hal paling produktif yang dilakukan mungkin hanyalah membuat atau mengolah dokumen dengan Microsoft Office, dimana sudah tersedia juga di Google Play.

Hal ini membuat Chromebook menjadi tambahan opsi bagi pengguna biasa, selain device Windows dan Mac OS X.



8. Salah Satu Permasalahan Utama Chromebook Terpecahkan

Salah satu alasan kenapa Chromebook sulit menjadi hit adalah adanya app gap. Dibandingkan dengan Windows dan OS X, Chromebook tidak memiliki padanan aplikasi yang berarti.

Hingga saat ini Chromebook hanya menggantungkan diri pada web apps dan Chrome Store, yang tentu secara fungsi sulit untuk menandingi full apps di Windows dan OS X.

Tetapi hadirnya Google Play beserta jutaan aplikasi didalamnya bakal memecahkan setengah dari masalah app gap ini.



9. Google Sering Mengambil Alih Market

Google bukanlah perusahaan kemarin sore yang layak untuk diremehkan. Dia adalah perusahaan dibalik Google Search, mesin pencari terpopuler saat ini yang sebelumnya berhasil menggulingkan dominasi Yahoo Search.

Dia juga perusahaan dibalik Android, yang popularitasnya membuat BlackBerry harus rela angkat kaki dan kini malah memproduksi smartphone berbasis Android juga.

Dia juga perusahaan dibalik layanan email populer Gmail, yang setelah kemunculannya berhasil mengambil banyak market dari layanan email lain yang sudah ada sebelumnya.

Artinya, datang belakangan dan merebut market bukan hal yang asing bagi perusahaan ini.



Tetapi,….



Namun demikian Microsoft masih punya banyak waktu untuk mengambil langkah dan strategi dalam melindungi market share Windows dari caplokan Chrome OS.
Ada beberapa alasan kenapa Microsoft masih punya banyak waktu untuk tetap mempertahankan device Windows sebagai pimpinan di kelas PC.



1. Windows Masih Mendominasi

Hingga saat ini Windows masih mendominasi sebagai OS desktop dan laptop paling populer di dunia. Meskipun untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir market share nya harus turun dibawah 90%, tetapi dibandingkan Mac OS X ataupun Chrome OS, Windows masih jauh mendominasi.



2. Windows Membudaya

Begitu populernya Windows selama bertahun-tahun membuat OS ini sudah membudaya di berbagai lini, mulai dari pendidikan, pemerintahan, hingga perkantoran.

Di sekolah-sekolah, universitas, fasilitas pemerintahan, hingga di perkantoran mayoritas semuanya menggunakan Windows.

Menggantikan Windows dengan Chromebook tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, mengingat menggunakan Windows sudah menjadi kebiasaan dan telah membudaya bagi sebagian besar orang.

Bahkan tidak sedikit orang yang tidak bisa mengoperasikan atau setidaknya bingung ketika menggunakan komputer selain berbasis Windows.



3. Ketersediaan Chromebook Terbatas

Untuk saat ini ketersediaan Chromebook di berbagai market, termasuk Indonesia, masih sangat terbatas. Menemukan Chromebook di mall-mall teknologi tidaklah semudah menemukan laptop berbasis Windows.

Di kelas PC dan laptop, device Windows jumlahnya masih jauh lebih melimpah dibandingkan Chromebook.

Tetapi sekali lagi, jika manufaktur sudah berlomba-lomba merilis Chromebook setelah support aplikasi Android nanti, maka cerita bisa jadi berbeda.



4. Power User App di Windows

Seperti yang sudah WinPoin jelaskan diatas, membandingkan Chromebook dan Windows device sebenarnya tidak seimbang.

PC Windows masih menjadi PC yang sebenarnya, dengan dukungan penuh dari aplikasi desktop app dan banyaknya aplikasi bagi power user.

Katakanlah aplikasi full power dari keluarga Adobe, seperti Premiere, Photoshop, dsb. Lalu ada juga Corel atau aplikasi desain lainnya.

Belum lagi aplikasi animator serta berbagai aplikasi bagi power user yang ketersediaannya sangat melimpah.

Hal ini bakal sulit ditemui di Chromebook, setidaknya untuk saat ini dan beberapa tahun kedepan.



5. OS Terbaik untuk Power Gaming (:’v)

Memang di Google Play ada banyak sekali game seru, dan bagi sebagian orang sudah sangat mendukung untuk keperluan gaming.

Tetapi bicara tentang power gaming, memainkan game yang berat dan kompleks, Windows masih menjadi OS yang paling powerful untuk itu.

Dukungan serta kemampuannya mengeksplorasi resource hardware seperti GPU, Processor, dan RAM untuk keperluan gaming tidak diragukan lagi.

Terlebih dengan DirectX 12 terbaru di Windows 10, ketersediaan PC dan laptop gaming yang bervariasi, banyaknya accesories gaming untuk Windows, serta mayoritas game yang support Windows.

Untuk power gaming, Windows masih sulit tergantikan hingga saat ini. Bahkan Steam OS sekalipun.



6. Ketergantungan Akan Windows

Bagi mayoritas kalangan bisnis dan enterprise, termasuk juga rumah sakit, perkantoran, perbankan, creative house, manufaktur, dsb masih sangat tergantung dengan Windows.

Bertahun-tahun menjadi OS dominan membuat developer mengembangkan aplikasi bisnis spesifik di platform Windows, sehingga hampir mustahil bagi mereka untuk beralih dari Windows, platform dimana aplikasi bisnis mereka berjalan lancar.


....


Itulah kenapa Microsoft sebaiknya mulai waspada dengan kehadiran aplikasi Android di Chromebook.

Meskipun masih ada banyak faktor dan alasan yang membuat Microsoft punya cukup waktu untuk memikirkan langkah dan strategi kedepannya, sebaiknya Microsoft bergegas untuk waspada.

Jangan sampai mereka lengah sehingga hal yang terjadi pada Symbian dan BlackBerry OS terulang di Windows PC.

Tidak ada salahnya sedia payung sebelum hujan, bukan?

Barakallah

Wassalamu’ alaikum warahmatullah wabarakatuh
Alasan Pentingnya Belajar Bahasa Arab

Alasan Pentingnya Belajar Bahasa Arab


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Tahukah kalian ???

Bahasa Arab adalah bahasa pemersatu umat islam, dulu ketika islam masih jaya Bahasa Arab digunakan oleh seluruh umat islam tanpa terkecuali. Sebab, Bahasa Arab diwajibkan agar bisa dikuasai oleh seluruh umat islam. Namun, setelah islam mengalami kemunduran, kini penggunaan Bahasa Arab terlupakan oleh umat muslimnya sendiri, bahkan seolah-olah tidak dibutuhkan dalam kehidupan.

Jika seseorang diminta untuk belajar Bahasa Arab maka ada berbagai alasan yang keluar seperti ; takut tidak bisa lah, takut susah lah, gak ada waktu, atau bahkan ada orang yang beranggapan Bahasa Arab itu kurang gaul, tidak seperti Bahasa Inggris yang dipakai para aktor-aktris ternama.

Nah, untukmu yang masih mencari-cari alasan lainnya, mendingan pikir-pikir dulu deh, sambil merenungi beberapa alasan di bawah ini agar kamu belajar Bahasa Arab. 


1. Memahami kata-kata dari Allah SWT tanpa mengandalkan terjemahan

Jika seseorang yang dicintai kamu mengirimkan surat dalam bahasa asing, maka tak jarang kamu akan terburu-buru untuk mencari tahu apa yang dikatakannya. Maka, tentu hal itu harus kamu tanamkan juga ke dalam Bahasa Arab. Sebab, Bahasa Arab adalah kalam Allah atau perkataan Pencipta manusia. Oleh karena itu, jika kamu paham Bahasa Arab, maka kamu akan memahami perkataan dari Tuhanmu di Al-Qur’an tanpa terjemah, keren kan?

2. Memahami hadits Nabi Muhammad SAW

Bayangkan jika kamu bisa membaca dan memahami hadits atau kata-kata dari Nabi terkasih Muhammad SAW langsung dalam bahasa Arab. Subhanallah, sungguh kamu sangat senang dan bangga bukan? Yah, dengan belajar Bahasa Arab kamu dapat memahami hadis Nabi tanpa perlu mengandalkan terjemahan. Hebat bukan?

3. Meningkatkan kekusyuan dalam shalat

Salah satu cara meningkatkan kekusyuan dalam shalat ialah dengan memahami arti dari bacaan shalat yang kamu ucapkan. Sebab, ketika kamu tahu arti dari bacaan shalatmu maka kamu seperti sedang memohon atau melakukan percakapan dengan Allah SWT ketika shalat. Jika kamu bisa Bahasa Arab, shalat kamu lebih khusyu bukan?

4. Memamahi kitab-kitab ilmu Islam karangan para Ulama

Meskipun saat ini banyak buku-buku atau kitab-kitab tentang Ilmu Islam karangan ulama telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, namun tak jarang bahasa terjemahan itu tidak sesuai jika menggunakan bahasa selain Bahasa Arab. Oleh karena itu, jika kamu bisa Bahasa Arab, maka kamu akan dengan mudah membaca dan memahami kitab-kitab karangan ulama tersebut. Ehm, hebat kan?

5. Bahasa Arab termasuk 5 bahasa paling umum di dunia

Jika kamu belajar Bahasa Arab, kamu gak usah takut gak gaul, sebab Bahasa Arab itu termasuk lima bahasa yang paling umum di dunia.

Bahasa Arab dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia dan merupakan bahasa resmi di lebih dari 24 negara. Dengan belajar bahasa Arab, kamu dapat berkomunikasi dengan penutur bahasa Arab di seluruh dunia. Keren bukan?

6. Meningkatkan kesempatan kerja

Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yangmenguasai lebih dari satu bahasa maka akan mudah mendapatkan pekerjaan. Sehingga, Belajar Bahasa Arab akan meningkatkan prospek kerja kamu dan akan terlihat bagus pada CV atau Resume kerjamu bukan?

7. Belajar bahasa baru dapat meningkatkan kekuatan otak dan meningkatkan memori

Umar ra. pernah menuturkan, “Belajar Bahasa Arab dapat memperkuat pikiran .” Beberapa studi juga telah menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan bilingual atau multibahasa dinilai sebagai komunikator terbaik. Dengan belajar Bahasa Arab, maka daya ingatmu akan tajam serta dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritismu dalam keterampilan lainnya.

Selain 7 poin diatas, masih banyak kok alasan alasan lain. Untuk itu ayo belajar Arabic !


via : islampos


Dari ketujuh alasan mengapa kamu harus belajar Bahasa Arab di atas, kamu sudah mendapatkan alasan untuk mulai mengenal Bahasa Arab bukan? So, tidak ada yang tidak mungkin jika kamu berusaha. Semangat Belajar Bahasa Arab!

Ayo, Let's Get Move

Terimakasih
Barakallah

Wassalamu'alakum warahmatullah wabarakatuh
Resize Ukuran Kertas di Ms. Word

Resize Ukuran Kertas di Ms. Word


Assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ok, seperti janji saya sebelumnya di post sebelumnya tentang HVS, Kali ini kita akan tahu bagaimana cara Resize Ukuran Kertas di Ms. Word.

Mungkin sebagian dari kalian sudah banyak tahu akan cara resize kertas di word. 
Alhamdulilah,...

Eits, yang masih newbie harus tahu caranya...

Jika salah dalam menentukan ukuran kertas di Word dengan ukuran kertas sebenarnya, dapat berakibat fatal loh ?
Serius ?
Iya serius kawan...

Misalnya saja, 

Jika ukuran kertas di Word lebih pendek daripada ukuran sebenarnya maka saat document terprint akan menyisakan sisa.

Jika ukuran kertas di Word lebih panjang daripada ukuran sebenarnya maka saat document terprint akan memotong isi document atau bahkan dapat mengakibatkan printer error atau rusak.

Maka dari itu, Pelajari yuk
Penasaran ? Ok, Let's Go



Cara Resize Ukuran Kertas di Ms.Word



1. Tentunya, buka program Microsoft Office Word kalian


(Word Loading Animation)


2. Pada tab Page Layout (Alt + P) klik Size (SZ) kemudian pilih More Paper Sizes (A)


(Word 2013)

3. Pada kotak dialog Page Setup, tertera ukuran lebar (Width) dan Panjang (Heigh). Sesuaikan               dengan ukuran kertas menurut SI. Dibawah ini ana contohkan ukuran HVS Folio (F4)



(Page Setup)

4. Jika ingin pengaturan tersebut berlaku untuk semua file word kita, pastikan klik Set As Default          agar kita tak perlu bersusah payah lagi mengatur ukuran kertas tersebut.


5. Jika sudah, klik OK



tada,…. Sekarang kalian tak perlu lagi bingung karena adanya sisa kertas hasil ngeprint kita,…



Ingat ! Cara ini juga berlaku untuk program Ms. Excel, Ms. PowerPoint, dan layanan Microsoft Office lainnya. 


Okay,… Mungkin itu saja dulu,… Nantikan juga "Cara Merubah Format Satuan Panjang Default (Inch) menjadi SI (cm)

Maaf atas segala kesalahan 
Semoga ilmu yang saya bagikan dapat bermanfaat,…
Barakallah

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh